Sabtu, 19 November 2011

filsafat ilmu

BAB 1
PENDAHULUAN
Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat yang merefleksikan radikan dan integral mengenai
hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Yang pertama di sebut landasan ontologis; cabang ini
menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut
? bagaimana hubungan antara objek tadi de ngan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa
dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?. Kedua di sebut dengan landasan
epistimologis; berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya
pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan
agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri?
Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan
pengetahuan yang berupa ilmu?. Sedang yang ketiga, di sebut dengan landasan aksiologi;
landasan ini akan menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan?
Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana
penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara
teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral/professional?
Jadi untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuan-pengetahuan
lainnya. Denganb mengetahuan jawaban-jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah
kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan
manusia. Hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu,
seni dan agama serta meletakkan mereka pada tempatnya masing-masing yang saling
memperkaya kehidupan kita. Tanpa mengenal irri-ciri tiap pengetahuan dengan benar maka
bukan saja kita dapat memanfaatkan kegunaanya secara maksimal namun kadang kita salah
dalam menggunakannya. Ilmu di kacaukan dengan seni, ilmu dikonfrontasikan dengan agama,
bukankah tak ada anarki yang lebih menyedihkan dari itu?
BAB II
PENGANTAR ILMU FILSAT
A Pengertian Fisafat
Pengertian filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yakni secara etimologi dan terminology
1.Arti secara Terminologi
Kata filsafat yang berasal dari bahasa arab falsafah yang dalam bahasa inggris dikenal
dengan istilah philosophy, adalah berasal dari bahasa Yunani philosophia. Kata
Philosophia terdiri atas kata philein yang berarti cinta ( love ) dan Sophia berate
kebijaksanaan ( wisdom ), sehingga secara etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan
(love of wisdom ) dalam arti yang sedalam – dalamnya. Kata filsafat pertama kali
digunakan oleh Pytagoras (582 – 496 SM)
2.Arti Terminologi
Arti terminology maksudnya arti yang dikandung oleh istilah atau statement “filsafat”
a.Platon
Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang
asli
b.Aristoteles
Filsafat adalah ilmu (pengetahuan ) yang meliputi kebenaran yang terkandung di
dalamnya ilmu – ilmu metafisika, logika, retorika,etika, ekonomi, politik, dan
estetika ( filsafat keindahan )
c.Al farabi
Filsafat adalah Ilmu pengetahuan tentangn alam maujud bagaimana hakikat yang
sebenarnya
d.Rene Descartes
Filsafat adalah kumpulan segalah pengetahuan dimana Tuhan, alam,dan manusia
menjadi pokok penyelidikan.
e.Immanuel Kant
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok pangkal dari segalah
pengetahuan, yan didalamnya tercangkup masalah epistemology ( Filsafat
pengetahuan) yang menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui.
f.Langeveld
Filsafat adalah berpikir tentang masalah-masalah yang akhir dan yang menentukan,
yaitu maslah – masalah yang mengenai magna keadaan, Tuhan, keabadian, dan
kebebasan.
g.Hasbulah Bakry
Ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelediki segalah sesuatu dengan mendalam
mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan
pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia
dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.
(Abbas Hamami M. 1976, hal.2 – 3 )
h.N. Driyakarna
Filsafat adalah permenungan yang sedalam – dalamnya tentang sebab – sebab ‘ada’
dan ‘berbuat’ permenungan tentang kenyataan (reality) yang sedalam –dalamnya,
sampai ke ‘mengapa’ yang penghabisan.
i.Notonagoro
Filsafat itu menelaah hal – hal yang menjadi objeknya dari sudut intinya yang
mutlak dan dan yang terdalam, yang tetap dan yang tidak berubah yang disebut
hakikat.
j.Ir.poedjawijatna
Filsafat adalah ilmu yang berusaha untuk mencari sebab yang sedam –dalamnya bagi
segala sesuatu yang berdasarkan pikiran belaka ( Lasiyo dan Yuwono,1985, hal,11 )
B. OBJECK FILSAFAT
Objeck adalah segalah sesuatu yang merupakan bahan dari suatu penelitian atau
pembentukan pengetahuan. Setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai objek, yang dibedakan
menjadi dua, yaitu objek material dan objeck formal.
1.Objek Material Filsafat
Objek material adalah suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau
pembentukan pengetahuan itu. Objek material mencangkup apa saja, baik hal-hal
konkret atau pun yang abstrak.
Objek material dari filsafat ada beberapa istilah dari pada cendikiawan, namun semua itu sebenarnya
tidak ada yang bertentangan.
A.Mohammad Noor Syam berpendapat, “para ahli menerangkan bahwa objek
filsafat itu dibedakan atass objek material atau objek materiil filsafat;
segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada, baik material
konkret,phisis, maupun non materiil abstrak, psikhis.
B.Poedjawijatna berpendapat “ jadi object material filsafat ialah ada dan
yang mungkin ada.
C.Dr. Oemar Amir Hoesin berpendapat bahwa masalah lapangan
penyelidikan filsafat adalah karena manusia mempunyai kecendurungan
hendak berpikir tentang segala sesuatu dalam alam semesta terhadap
segala yang ada dan yang mungkin ada.
D.Louis O. Kattsoff berpendapat; lapangan kerja filsafat itu bukan main
luasnya, yaitu meliputi segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu
apa saja yang ingin diketahui manusia. ( Burhanudin Salam,1988,hal.39)
E.Drs. H.A Dardiri berpendapat bahwa, objek material filsafat adalah
sesuatu yang ada, baik yang ada di dalam pikiran, ada dalam kenyataan
maupun yang ada dalam pikiran, ada dalam kenyataan maupun ada dalam
kemungkinan.
F.Abbas Hamami M berpendapat, sehingga dalam filsafat objek materiil
itu adalah ada yang mengatakan, alam semesta,semua keberadaan, masalah
hidup, masalah manusia, maslah Tuhan dan yang lainya.
2.Objek formal filsafat
Objek Formal, yaitu sudut pandangan yang ditujukan pada bahan
dari penelitian atau pembentukan pengetahuan itu atau sudut dari mana
objek material itu disorot. Objek formal suatu ilmu tidak hanya member
keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakanya dari
bidang lain.
Objek formal filsafat yaitu sudut pandangan yang menyeluruh, secara umum sehingga dapat
mencapai hakikat dari objek materianya. Jadi yang membedahkan antara filsafat dengan ilmu –
ilmu lain terletak dalam objek material dan objek formalnya. Kalau dalam ilmu –ilmu lain objek
materianya membatasi diri, sedangkan pada filsafat tidak membatasi diri. Adapun pada objek
formalnya membahas objek materialnya itu sampe ke hakikat atau esensi dari yang dihadapinya.
C. METODE FILSAFAT
Kata metode berasal dari berasal dari kata Yunani Methodos, sambungan kata
depan meta ( ialah menujuh, melalui, mengikuti, sesudah ) dan kata Hodos ( ialah jalan,
perjalanan, cara,arah) kata methodos sendiri lalu berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesis
ilmiah, uraian ilmiah. Sebenarnya jumlah metode filsafat hampir sama banyaknya dengan
definisi dari para ahli dan filsuf sendiri. Karena metode ini adalah suatu alat pendekatan unruk
mencapai hakikat sesuai dengan corak pandangan filsuf itu sendiri.
Runes dalam dictionary of philosophy sebagaiman di kutip oleh Anton Bakker menguraikan
sepanjang sejarah filsafat telah di kembangkan sejumlah metode-metode filsafat yang berdeda
dengan cukup jelas.
1.Metode kritis ; Socrates, plato
Bersifat analisis istilah dan pendapat. Merupakan hermeneutika yang
menjelaskan keyakinan dan memperlihatkan pertentangan
2.Metode Intuitif; Plotinus, Bergson
Dengan jalan instropeksi intiutif dan dengan pemakain simnol – symbol
diusahkan pembersihan intektual sehingga tercapai suatu penerangan pikiran.
3.Metode skolastik; aristoteles,Thomas Aquinas, filsafat Abad pertengahan
Bersifat sintesis-deduktif. Dengan bertitik tolak dari definisi-definisi atau
prinsip – prinsip yang jelas dengan sendirinya, ditarik kesimpulan –
kesimpulan.
4.Metode geometris; Rene Descartes dan pengikutnya
Melalui analis mengenai hal yang yang kompleks, di capai intuisi akan hakikat
sederhana ( ide terang dan berbeda dari yang lain) dari hakikat itu di dedusikan
secara sistematis segalah pengertian lainya
5.Metode Empiris: Hobbes, Locke, Berkeley, David Hume
Hanya pengalaman menyajikan pengertian benar, maka semua pengertian dalam
introspeksi dibandingkan dengan cerapan – cerapan ( impresi ) dan disusun
bersama secara geometris.
6.Metode Tresendental; Immanuel Kant, Neo Skolastik
Bertitik tolak dari dari tepatnya pengertian tertentu, dengan jelas analisis
diselidiki syarat –syarat apriori bagi pengertian sedemikian.
7.Metode fenomenologis; Husserl, Eksistensialisme
Dengan jalan beberapa pemotongan sistematis (reduction ), refleksi atas
fenomin dalam kesadaran mencapai penglihatan hakikat-hakikat murni
8.Metode Dialektis: Hegel, Marx
Dengan jalan mengikuti dinamik pikiran atau alam sendiri menurut triade tesis,
antithesis, sintesis dicapai hakikat kenyataan.
9.Metode Neo positivistis
Kenyataan dipahami menurut hakikatnya dengan jalan mempergunakan aturanaturan
seperti berlaku pada ilmu pengetahuan positif (eksata)
10.Metode Analitika Bahasa; Wittgenstein
Dengan jalan analisa pemakain sehari – hari ditentukan sah atau tidaknya
ucapan –ucapan filosofis
D. CIRI-CIRI FILSAFAT
Bila dilihat dari aktivitasnya filsafat merupakan suatu cara berfikir yang mempunyai
karakteristik tertentu. Menurut Sutan Takdir Alisjahbana syarat-syarat berfikir yang disebut
berfilsafat yaitu : a) Berfikir dengan teliti, dan b) Berfikir menurut aturan yang pasti. Dua ciri
tersebut menandakan berfikir yang insaf, dan berfikir yang demikianlah yang disebut
berfilsafat. Sementara itu Sidi Gazalba (1976) menyatakan bahwa ciri ber-Filsafat atau
berfikir Filsafat adalah : radikal, sistematik, dan universal. Radikal bermakna berfikir sampai
ke akar-akarnya (Radix artinya akar), tidak tanggung-tanggung sampai dengan berbagai
konsekwensinya dengan tidak terbelenggu oleh berbagai pemikiran yang sudah diterima
umum, Sistematik artinya berfikir secara teratur dan logis dengan urutan-urutan yang rasional
dan dapat dipertanggungjawabkan, Universal artinya berfikir secara menyeluruh tidak pada
bagian-bagian khusus yang sifatnya terbatas.
Sementara itu Sudarto (1996) menyatakan bahwa ciri-ciri berfikir Filsafat adalah :
a. Metodis : menggunakan metode, cara, yang lazim digunakan oleh filsuf (akhli filsafat)
dalam proses berfikir
b. Sistematis : berfikir dalamsuatu keterkaitan antar unsur-unsur dalam suatu keseluruhan
sehingga tersusun suatu pola pemikiran Filsufis.
c. Koheren : diantara unsur-unsur yang dipikirkan tidak terjadi sesuatu yang bertentangan
dan tersusun secara logis
d. Rasional : mendasarkan pada kaidah berfikir yang benar dan logis (sesuai dengan kaidah
logika)
e. Komprehensif : berfikir tentang sesuatu dari berbagai sudut (multidimensi).
f. Radikal : berfikir secara mendalam sampai ke akar-akarnya atau sampai pada tingkatan
esensi yang sedalam-dalamnya
g. Universal : muatan kebenarannya bersifat universal, mengarah pada realitas kehidupan
manusia secara keseluruhan
Dengan demikian berfilsafat atau berfikir filsafat bukanlah sembarang berfikir tapi berfikir
dengan mengacu pada kaidah-kaidah tertentu secara disiplin dan mendalam. Pada dasarnya
manusia adalah homo sapien, hal ini tidak serta merta semua manusia menjadi Filsuf, sebab
berfikir filsafat memerlukan latihan dan pembiasaan yang terus menerus dalam kegiatan
berfikir sehingga setiap masalah/substansi mendapat pencermatan yang mendalam untuk
mencapai kebenaran jawaban dengan cara yang benar sebagai manifestasi kecintaan pada
kebenaran
E. ASAL DAN PERANAN FILSAFAT
F. KEGUNAAN FILSAFAT
1. Apakah gunanya filsafat itu
Ada yang memandang filsafat sebagai sumber segala kebenaran yang mengharapkan dari filsafat
kebahagiaan yang tulen dan jawaban atas segala pertanyaan-pertanyaan.
Akan tetapi ada pula yang menganggap bahwa filsafat tidak lain dari pada “Obrolan
Belaka”,”Omong Kosong” yang sama sekali tak ada artinya bagi kehidupan sehari-hari. Yang
meragukan banyak orang ialah banyaknya pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ahli,
pendapat-pendapat dan aliran – aliran yang sering banyak bertentangan satu sama lain. Inilah
sebabnya maka menurut pendapat kami pengantar filsafat yang melulu melalui “Historis” itu
biasanyamenimbulkan banyak salah paham dan mengecewakan. Dari uarian diatas jelaslah
bahwa betapa besar kepentingan filasafat bagi perwujudan dan pembangunan hidup kita dan
harus kita akui tentang terbatasnya kemampuan aan budi manusia dalam usahanya untuk
memecahkan soal-soal tentang “Ada”, tentang manusia dan dunia ,tentang hidup dan Tuhan.
2. Kegunaan filasafat bagi manusia
Seorang yang bijaksana akan memiliki kemugkinan yang paling tepat dalam usahanya mencapai
“Kesejahteraabn hidup” karena ia mempunyai wawasan yang tepat dan mendalam. Dia berusaha
mengerti apa artinya hidup dan dirinya dengan segala maslah yang muncul dan yang ia hadapi.
Disamping itu filsafat memberikan petunjuk dengan metode pemikiran reflektif dan penelitian
penalaran supaya kita dapat menyerasikan antara logika,Rasa,Rasio, pengalaman dan agama
didalam usaha manusia mencapai pemenuhan kebutuhannya dalam usaha yang lebih lanjut yaitu
“mencapai hidu yang sejahtera”.
Dalam hal ini manusia tidak dengan begitu saja menceburkan diri kedalam salah satu perbuatan
atau situasi, karena ia selalu sadar, bahwa ia berbuat tentang suatu atau tidak berbuat tentang
suatu itu. Disini peanan filsafat ialah secara kritis menyerasikan kehidupan manusia, sehingga
tampak hidup manusia serta arah yang mendasarinya didalam usaha mereka mencapai
kesejahteraan hidup tadi.
3. Tujuan praktis filsafat
Daya upaya manusia untuk memikirkan seluruh kenyataan dengan sedalam-dalamnya itu tak
dapat tiada pasti berpengaruh atas kehidupannya. Hingga dengan sendirinya bagian filsafat yang
teoritis akan bermuara pada kehendak dan perbuatan yang praktis. Seseorang menginginkan
pengertian agar dapat berbuat dapat bergiat menurut pengetahuan yang kita peroleh itu.
Perbedaan pendapat antara orang yang berfilsafat dan orang yang tidak berfilsafat boleh
dikatakan terletak dalam sikap mereka terhadap hidup manusia. “ Hidup’’ disini meliputisegala
sesuatu yang dialami dan dirasakan manusia dalam dirinya sendiri sekaligus yang dirasakan,
dialami atau diderita pula oleh orang-orang lain. Filsafat mengajarkan kita kita hidup lebih sadar
dan insyaf,memberikan pandangan tentang manusia dan hidupnya yang menerobos sampai inti
sarinya, sehingga kita dengan lebih tegas dapat melihat baik keunggulannya.kebesaranyya
maupun kelemahannya dan keterbatasannya.dari pengetahuan ini dapatlah kita peroleh perhatian
bagi sifat kepribadian yang menyendirikan setiap orang,dan hati kita terbuka buat “Rahasia”
yang menjelma dalam setiap perseorangan yang akhirnya berarti hati kita tetbuka bagi
sumbrsegala rahasia ialah Tuhan.
4. Beberapa pendapat para Filosof tentang kegunaan pelajaran filsafat
Plato merasakan bahwa berpikir dan memikirkan itu sebagai suatu nikmat yang luar biasa
sehingga filsafat diberi predikat sebagai keinginan yang maha berharga.
Rene Descartes mengemukakan “Cogito Ergo Sum” (Karena berpikir maka saya ada).tokoh ini
yang menyangsikan segala-galanya, tetapi dalam serba sangsi itu ada satu hal yang pasti, ialah
bahwa aku bersangsi dan bersangsi berarti berpikir, karena berpikir maka aku ada. Itulah
landasan dari filsafatnya.berfilsafat berarti berpangkalan kepada sesuatu kebenarang yang
Fundamental atau pengalaman yang asasi.
Dr.Oemar A. Hoesin mengatakan “filsafat itu memberikan kepuasan kepada keinginan menusia
akan pengetahuan yang tersusun dengan tertib, akan kebenaran.
Alfred North Whitehead yang berpendapat bahwa filsafat ituadalah keinsyafan dan pandangan
jauh kedepan dan suatu kesadaran akan hidup pendeknya, kesadaran akan kepentingan yang
memberi semangat seluruh usaha peradaban.
Prof. S. takdir Ali Sahbana, Beliau mengatakan bahwa “ bagi manusia seorang berfilsafat itu
berarti mengatur hidupnya seinsyaf-insyafnya sesentral-sentralnya dengan perasaan bertanggung
jawab.
Bukan bertanggung jawab kepada si Amat atau si Wongo, tetapi kepada pokok, kepada dasar
hidup yang sedalam-dalamnya baik dinamakan tuhan atau alam atau kebenaran.Bagi suatu
masyarakat atau bangsa filsafat itu tak kurang pentingnya sebab yang menjadi intisari atau jiwa
sesuatu kebudayaan pada suatu tempat dan masa itu taklah lain dari pada pikiran-pikiran ahli
pikir bangsa itu pada tempat dan masa itu.
Maurice Marleau Ponty, Beliau berpendapat bahwa “Jasa dari filsafat baru ialah terletak dalam
sumber penyelidikannya, sumber itu adalah eksistensi dan dengan sumber itu kita bisa berpikir
tentang manusia”
Gabriel Marcell, Beliau mengatakan bahwa “ Hakikat manusia itu terletak dalam hasratnya untuk
berkomunikasi untuk bersatu dengan person atau pribadi lain dengan percaya. Dan itu hanya
mungkin karena hasrat manusia untuk percaya kepada “Toi absolu”, kepada dikau yang mutlak,
ialah tuhan sendiri.
5. Tujuan umum pelajaran filsafat
Beberapa tujuan umum pelajaran filsafat sebagai berikut :
a.Dengan berfilsafat kita lebih menjadi manusia,lebih mendidik dan membangun diri sendiri.
Sifat yang khusus bagi seorang filsuf ialah bahwa sesadar-sadarnya apa saja yang termasuk
dalam kehidupan manusia, tetapi dalam pada itu juga mengatasi dunia itu, sanggup melepaskan
diri, menjauhkan diri sebentar dari keramaian hidup dan kepentingan-kepentingan subyektif
untuk menjadikan hidupnya sendiri itu obyek peyelidikannya. Dan juatru kepentingankepentingan
dan keinginan-keinginan subyektip itu maka ia mencapai keobyektifan dan
kebebasan hati, yang perlu buat pengetahuan dan penilaian yang obyektif dan benar tentang
manusia dan dunia. Dan sifat ini, sifat mengatasi kesubyektifan belaka, sifat melepasakan
kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebuttuhan sendiri, tegasnya bahwa sifat keobyektifan
ini adalah seorang yang dewasa yang belum matang kerohaniannya.
Telah dikatakan bahwa hidup di dunia ini adalah di dalam dunia dan mengatasi dunia itu adalah
jasmani dan rohani atau dengan perkataan asing, adalah immanent (berada di dalamnya) dan
transcedent (mengatasi dunia material yaitu sebagai rohani). Manusia adalah rohani-jasmani
dalam satu kesatuan tetapi jiwalah yang merupakan dasar intinya, sumber segala kegiatan dan
perinsip hidup. Maka kurang berpikir berarti lebih tenggelam ke dalam jasmanilah dalam
kebendaan. Berpikir dengan lebih dalam berarti mengalami diri kita sendiri sebagai transcedent,
sebagai mengatasi dunia material sebagai rohani.
b. Berusaha mempertahankan sikap yang obyektif mengenai intisari dan sifat-sifat barang-barang
itu sendiri.
Bila seseorang semakin pantas di sebut “berkpribadian”, semakin mendekati kesempurnaan
kemanusiaan, semakin memiliki “kebijaksanaan”, jika semakin mempunyai sikap obyektif
terhadap dunia ini . Dan sebaliknya seseorang yang sungguh-sungguh dewasa tidak pertamatama
mencari kepuasan dan kesenangannya diri sendiri dalam benda-benda.
c. mengajar dan melatih kita memandang dengan luas dan menyembuhkan kita dari sifat
Akuisme dan Aku sentrimisme.
Ini berhubungan erat pula dengan “Spesialisasi” dalam ilmu pengetahuan yang membatasi
lapangan penyelidikan orang sampai satu aspek tertentu dari pada keseluruhan itu. Hal inilah
dala ilmu pengetahuan memang perlu akan tetapi sering membawa kita kepada kepicikan dalam
pandangan, sehingga melupakan apa saja yang tidak termasuk lapangan penyelidikan itu sendiri,
sifat ini sangat merugikan perkembangan manusia sebagai keutuhan maka obatnya yang paling
manjur ialah “pelajaran filsafat”
d. Agar menjadi orang yang dapat berpikir sendiri.
Dengan latihan akal yang di berikan dalam filsafat kita harus menjadi orang yang sungguhsungguh
“berdiri sendiri” / mandiri terutama dalam lapangan kerohanian, mempunyai pendapat
sendiri. Jika perlu dapat dipertahankan pula menyempurnakan ara kita berpikir, hingga dapat
bersikap kritis, melainkan mencari kebenaran dalam apa yang dikatakan orang baik dalam bukubuku
maupun dalam surat – surat kabar dan lain –lain.
6. Kenisbian ( Relativitas ) Filsafat
Prof. Drs. I.R. Pudjawijatna menulis dalam bukunya yang berjudul Pembimbing ke arah alam
filsafat “ maka dari pada itu ada kemungkinan agama memberi pengetahuan yang tinggi dari
filsafat, pengetahuan yang tak tercapai oleh budi biasa karena demikian tingginya hal itu hingga
hanya dapat diketahui karena diwahyukan”.
Prof. Dr. R.F. Beerling, menulis dalam bukunya yang berjudu ”Filsafat dewasa ini” Filsafat
bersumber pada manusia dan mengenai manusia. Dia adalah tingkat tertinggi dari kegelisahan
yang telah saya katakan di atas. Dia memajukan pertanyaan yang dilakukan secara radikal sekali.
Dia adalah jawaban yang akan memberi kepuasan pada pertanyaan – pertanyaan it, tetapi yang
selalu mengandung pertanyaan –pertanyaan baru, sehingga tak pernah tentram benar “.
Leopold Weiss yang juga bernama Muhammad Asad beliau menulis dalam bukunya “ Islam at
the Crossrods” Makhluk manusia dengan segala mekanisme jiwanya yang pelik dengan segala
hasrat-hasratdan ketakutan – ketakutannya melihat dirinya dihadapkan pada satu “alam” dimana
kemurahan dan kekejaman, bahaya dan ketentraman bercampur baur dalam suatu cara yang
dahsyat yang tak teruraikan dan nampaknya bekerja atas garis- garis yang brada dari metodemetode
dan struktur pikiran manusia. Filsafat intelektuil murni ata ilmu pengetahuan
eksperimentil melulu tidak pernah sanggup memecahkan konflik ini. Justru itulah titik dimana
agama melangkah maju.
Perlu di ingat bahwa penjelasan yang lalu bahwa ilmu pengetahuan khusus mencari kebenaran
(obyektivitas) dengan jalan riset , pengalaman dan percobaan sebagai batu ujiannya tetapi dalam
pengambaraanya dalam mencari kebenaran itu menjumpai rimba raya masalah yang terbentang
luas yang tak terjangkau oleh aktivitas riset.
Apabila kita telah menjumpai keadaan yangdemikian itu maka berarti sudah menginjak lapangan
pengetahuan lai n yaitu telah bermuara kepada lapangan filsafat.yang selanjutnya filsafat
menghampiri kebenaran itu dengan akal budi manusia secara radikal, sistematis dan uni versal
tanpa pertolongan kekuatan lain atau oleh wahyu Allah.filsafat mencoba memberikan jawaban
atas segenap permasalahan yang di hadapi yang bersifat spekulatif,alternatif dan subyektif.
Dalam aktivitatas menekuni missi filsafat itu, maka filsafat juga mengalami nasib yang sama
dengan ilmu-ilmu pengetahuan khusus. Filsafat dihadapkan kepada permasalahan yang di lyar
kemampuan subyektif, spekulatif dan alternatifnya untuk dijawab dengan tuntas. Ini berarti
bahwa filsafat menemukan era baru di luar lah di simpulkan bahwa kenisbian ( relatifitas) baik
ilmu – ilmu pengetahuan khusus maupun filsafat bermuara pada agama. Oleh karena itu ada
baiknya pada bab berikut ini kita mencoba mengadakan hubungan antara filsafat dengan agama
yang keduanya tergolong dalam kelompok ilmu pengetahuan universal.
BAB III
ONTOLOGI: HAKIKAT APA YANG DI KAJI
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi
filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di
gunakan ketika kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi
membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal.
Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan
Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
1. Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan
kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi
kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme,
atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak.
Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik
akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles
dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami
sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme
dari mental.
2. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi
fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan
keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat
umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik
mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang
dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.
Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua,
yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat;
dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
Contoh : Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
Badan itu sesuatu yang lahir (S-Tt)
Jadi, badan itu fana’ (S-P)
Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas
kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan
hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:
Contoh : Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus (Tt-S)
Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan (Tt-P)
Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan (S-P)
Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di
berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj menjadi
sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di berangkatkan dari term
tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas dalam
kesimpulan.
EPISTEMOLOGI (Cara mendapatkan pengetahuan yang benar)
Masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang
pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu
diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan.
Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui
hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat
menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan
epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh
pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai
hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat
menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang
mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.
Manusia tidak lah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan
pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”???
Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan
a. Empirisme
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan
cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak
empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya
merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan
itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa
pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan
ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan
sederhana tersebut.
Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif
menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita
betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalamanpengalaman
inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atomatom
yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu
di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya
bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.
b. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal.
Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman
paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut
rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan
bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna
mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka
kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh
dengan akal budi saja.
c. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian
tentang pengalaman. Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri
merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk
pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu
kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti
keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak
kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).
Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua
pengetahuan di dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk
sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal
memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta
pengalaman.
d. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara
langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan
pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari
pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsut-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson
ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping
pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang
dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping
pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan
mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan
demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun
pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman
inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme –
setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan
yang lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang
nisbi-yang meliputi sebagian saja-yang diberikan oleh analisa. Ada yang
berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang
menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu
kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu
seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat
menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.
AKSIOLOGI ( Nilai Kegunaan Ilmu )
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi
reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan
gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu
sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu
manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat
kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana
yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan
hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.” Meminjamkan
perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav jung,” melainkan faust yang menciptakan
Goethe.”
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana
adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu
harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana
perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan urgensi
bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang
hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam
bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan
untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalahmasalah
moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543)
mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang
berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh
ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada
ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari
alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu
mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaranajaran
diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber
pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada
tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk
mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela
mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar.
Peradaban telah menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar.
Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk
menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir
dapat melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa
manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi
yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice dalam
petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.” (adakah yang
lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam avontur intelektual?).
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu
itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidahkaidah
moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi
metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar